Tentangku
Aku memang kadang terjebak dalam keburu-buruan yang mendadak. Seperti saat ini, saat aku harus mempercepat langkah kaki ku, ditambah rasa cemas yang mulai merambat, semakin mulai membuat jantungku bekerja lebih keras. Ya, aku terburu-buru lagi kali ini. Bukan karena air dari langit sudah terasa dingin di pundakku, juga terasa keras di ubun ubun kepalaku. Memang aku agak malas kena air, tapi sungguh bukan karena itu. Aku bingung karena saat aku bertanya pada seorang satpam sebuah swalayan tentang lokasi stasiun kereta, dia bilang kita harus berlari.
Sayangnya berkali-kali langkah kakiku malah harus terhenti. Bukan karena capai setelah seharian jalan kaki, tapi karena seorang temanku malah mengeluarkan kamera untuk merekam kebingungan kita. Hingga ahirnya kami mulai berlari dengan serius, tepatnya setelah terdengan sirine palang kereta api itu berbunyi, bermaksud menghentikan kendaraan yang ingin melintas. Sayangnya, sama seperti yang dilakukan tiga remaja di depan kami yang berboncengan mengendari motornya, kami menerobos palang pengaman itu. Bukan untuk mengikuti mereka melintas, kami malah berlari ke arah kereta api yang mulai bergerak ke arah kami.
Kupercepat langkahku, mencari pintu yang terbuka. Aku melompat masuk, kutarik masuk temanku yang besarnya hampir dua kali lipat dariku, juga seorang teman dengan muka paling ketakutan diantara kami. Sesaat setelah kami mengatur nafas, akupun mulai tertawa. Menertawakan kekecewaan yang bakal terjadi jika kami ketinggalan kereta, juga menertawai muka temanku yang masih saja ketakutan. Mungkin karena sebagai anak rumahan yang setiap hari berkutat di depan komputer, ini pertama kalinya dia ikut denganku nggelandang.
Ahirnya aku mulai sadar mengapa dia begitu cemas, ternyata kecemasannya lebih karena kami tiba-tiba masuk kereta tanpa membeli tiket. Akupun berusaha tetap tenang, walau bagaimanapun, keputusan harus diambil dengan cepat, setidaknya itu yang kupelajari selama ini. Meski seringkali setelah itu, aku baru sadar bahwa aku membuat kesalahan. Tapi seseorang bilang padaku setidaknya itu masih lebih baik bari pada harus melihat kesempatan kami berlalu hanya beberapa meter di depan mata kami. Karna tak ada kekecewaan yang lebih besar daripada kecewa tertinggal kereta api, dan kita hanya bisa berdiri melihat ekornya mulai menghilang.
Inilah yang setidaknya terjadi pada perjalananku hari ini, aku tetap akan mengikuti kereta ini sampe ke kota berikutnya, sambil berangan-angan tentang rencana-rencana apa yang akan aku lakukan disana, dan akan kemana lagi setelah itu, sambil berangan-angan tentang bagaimana memperbaiki kesalahan-kesalahan yang timbul dari keputusan yang kuambil sebelumnya. Aku harap ahir cerita dari perjalanan ini menjadi ahir cerita yang bahagia. Semoga saja.