Bencana Kemanusiaan

Bencana Kemanusiaan

Hari ini sudah dua minggu ketika kantor kami, MTARGET, memutuskan untuk berkerja dari rumah atau Work From Home (WFH), mengikuti anjuran pemerintah terkait virus corona (covid-19), setelah ditetapkannya menjadi pandemik oleh WHO.

Awal 2020, ketika mulai banyak pemberitaan mengenai virus corona di Wuhan, China, saya menganggap bahwa itu adalah daerah yang sangat jauh. Bahkan itu adalah pertama kali mendengar nama kota Wuhan. Kota dengan jarak lebih dari 4 ribu kilometer dari rumah saya, yang setidaknya harus mengarungi 3 lautan untuk sampai ke sana. Sehingga mungkin wajar, jika saya tidak menyangka virus corona akan menggila juga di Indonesia dengan cepat.

Hanya saja, saya rasa kita semua sudah menyadari bahwa dunia berkembang sangat cepat. Mulai dari perkembangan teknologi, pengetahuan, dan mobilitas, semuanya dituntut untuk lebih cepat. Jika dahulu kita perlu waktu berbulan-bulan untuk mencapai sumber virus, sekarang hanya perlu beberapa jam. Sehingga mikroorganisme satu ini-pun sepertinya ikut mengalami tuntutan tersebut. Dia berkembang sama pesatnya, tidak kalah cepat dengan perkembangan yang lain.

Soal perkembangan, yang tidak kalah cepat adalah harga masker. Saya ingat betul, beberapa bulan lalu, sebelum negara api menyerang, ketika saya membeli masker untuk kantor, satu box masker isi 50 harganya tidak sampai 20 ribu Rupiah. Sebulan dua bulan kemudian, ketika presiden mengumumkan kasus corona pertama di Indonesia, sontak harganya naik 10 kali lipat, dan naik kembali menjadi 20 kali lipat hanya beberapa hari kemudian. Hal ini diikuti pula dengan kebutuhan kesehatan lain. Hand sanitizer, APD, alkohol, termometer tembak, semuanya menjadi langka dan mahal.

Inilah yang terjadi ketika tingkat kewaspadaan kita tidak ikut berkembang, menganggap bahwa kita akan selamat tanpa melakukan apapun. Terlebih lagi jika rasa kemanusiaan kita tidak ikut berkembang, menganggap bahwa ini permasalahan individu. Kita masih bebas melakukan apapun, bahkan dengan memanfaatkan bencana ini untuk keuntungan pribadi.

Jika demikian, apapun bencana yang terjadi, akan diperburuk dengan kepanikan, saling menyalahkan, egoisme, sampai pada hilangnya tanggung jawab dan akal sehat. Saat itu, dengan atau tidak kita sadari kita sudah membuat kerusakan yang lebih besar, dan mengorbankan lebih banyak orang.

Padahal dalam setiap bencana yang terjadi, saya percaya bahwa ujian yang sesungguhnya adalah rasa kemanusiaan. Bagaimana kita gotong royong mengadapi bencana ini bersama-sama. Seperti saat ketika terjadi tsunami, gunung meletus, banjir bandang, perang, dan lain lain. Kita merasa perlu mengikuti setiap instruksi penyelamatan yang diberikan. Kita yang punya akses dan power dapat memberikan masukan penanganan yang baik kepada pembuat kebijakan. Kita yang merasa tidak terdampak serius, berbondong-bondong menghimpun sumbangan dan menjadi relawan, ada kampanye (campaign) #peduli apapun dimana-mana, pun dengan tetap penuh kewaspadaan.

Jika terjadi adalah sebaliknya, maka hal yang terjadi bukan hanya bencana virus seperti saat ini, tapi juga bencana sosial dan bencana kemanusiaan. Bencana ini yang memiliki dampak lebih buruk. Bahkan setelah bencana virus ini berakhir, dan sangat mungkin akan memperburuk bencana lain di masa depan.

Menurut saya, dari bencana-bencana yang sudah kita alami, baik sekarang maupun sebelumnya, seharusnya membuat kita lebih waspada, bahwa banyak hal preventif yang perlu diinvestasikan untuk mengurangi dampak dari bencana yang akan datang. Dan menurut saya, salah satu investasi yang sangat penting adalah rasa kemanusiaan itu sendiri. Sikap saling peduli, saling percaya dan saling menjaga, dan rela berkorban harus selalu dikembangkan dalam kehidupan sosial kita.

Dengan demikian, mungkin kita bisa mengurangi pemberitaaan atau memberikan informasi yang simpang siur dan menyesatkan. Akar dimana kepanikan, dan ketidakpercayaan berasal. Dimana segelintir orang memanfaatnya dengan menimbun kebutuhan pokok dan kesehatan untuk keuntungan pribadi. Dimana memicu munculnya rasa cuek dan masa bodoh terhadap keadaan berkembang. Sampai pada akhirnya, dampak yang muncul sama sekali tidak dapat kita tangani. Misalnya jika hal ini sudah berdampak secara luas pada sumber-sumber penghasil pangan kita di pelosok desa, bencana lain yang lebih besar seperti kelangkaan bahan makanan bisa saja terjadi.

Tentu kita tidak ingin itu semua terjadi. Jadi, sekarang saatnya mulai sebisa kita untuk saling menjaga, dengan mengikuti setiap instruksi formal dari Pemerintah. Seperti rajin cuci tangan dengan sabun, social distancing, membatasi bepergian, menjaga jarak, berkerja dari rumah (WFH) bagi yang bisa melakukannya, memprioritaskan alat kesehatan untuk tenaga medis, dan lain sebagainya.

Mari kita saling membantu untuk membuat semua orang bisa menjalaninya dengan mudah. Dari sini saya yakin, kita dapat melakukan perubahan-perubahan dan inovasi untuk kebaikan masa depan. Sesuai dengan kemampuan dan keahlian kita masing-masing.

Yuk!